"Jangan tanya kami tentang harta, kami tidak punya. tanyalah kepada kami tentang arti kehidupan, maka kami akan menjawabnya. dan ingatlah selalu, bahwa yang terlihat jelek itu tidak selamanya buruk."
Tidak selalu hitam itu hitam. Dan putih itu suci.
orang selalu mengidentikkan bahwa seorang gembel itu kotor, bodoh, sampah masyarakat yang perlu di bersihkan. kita mengistilahkan para gembel ini sebagai masyarakat kasta bawah, orang pinggiran. yang tidak layak mendapatkan tempat di ruang tengah.
Semua istilah, hanya kosa kata manusia. Yang terbatas. Yang memihak. Yang sewenang-wenang. Ferdinand de Saussure menyebutnya arbitrer. Tidak ada hubungan logis apalagi netral antara istilah dengan yang diberi istilah. Tindakan memberi istilah itu adalah tindakan sewenang-wenang. Maka mendaratlah sejumlah kepentingan. Mulai dari ambisi, ideologi, politik dan sebagainya. Dengan kata lain, penyebutan istilah gembel, orang pinggiran, masyarakat menengah kebawah, dll adalah klaim. Klaim dari penguasa (masayarakat kelas atas). Penguasa kebenaran di medan sosial. Penyebuatan istilah gelandangan, pemulung, juga sebuah klaim. Klaim bahwa itu adalah pekerjaan yang hina.
Dan klaim itu adalah hegemoni. Perang kekuasaan dibidang tanda-tanda. Perang image. Perang Branding. Dan sekali perang itu dimenangkan, maka sebuah istilah akan menancap kuat dalam alam bawah sadar sosial. Sehingga istilah lain akan sulit menembusnya. Itu sebabnya, untuk membangun paradigma baru di gelanggang sosial, sangat tidak mudah. Karena virus branding dari sebuah istilah sudah mengakar begitu kuat di alam bawah sadar penganutnya. Foucault menyebutnya itu lapisan geologis. Lapisan bebatuan kesadaran. Kesadaran yang sudah membatu. Dan untuk mengubahnya tidak bisa dielus. Tapi harus dengan martir. Harus dibombardir. Dan itulah dekonstruksi.
maka dari itu, harus ada seseorang atau golongan yang mengatas-namakan kaum yang di sebut oleh masyarakat sebagai kaum pinggiran untuk melakukan dekontruksi sosial. harus ada yang mewakili para gembel ini untuk bicara. bahwa gembel tak selamanya hina. gembel hina karena kita memandangnya dari sudut pandang materi, dari sudut pandang harta.
cobalah kita melihat seorang gembel dari sisi kehidupan sosialnya. akan banyak pelajaran yang kita dapat darinya. bahkan kalau perlu, untuk menjadi wakil rakyat harus magang dulu menjadi seorang gembel agar panca inderanya menjadi peka.
sekali lagi, tak selalu hitam itu hitam dan putih itu suci..
tak selamanya yang terlihat jelek itu buruk..
0 komentar:
Posting Komentar